Guru Profesional, Sarana Meningkatkan Kualitas Pendidikan |
Oleh:
berbagai sumber
Gelar ‘Gr.’ belakangan ini
sudah mulai dimunculkan dalam perbincangan terkait Pendidikan Profesi Guru
(PPG). Dilansir dalam sekolahdasar.net: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) akan mewajibkan seluruh guru untuk mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurut Mendikbud
Mohamad Nuh, seorang sarjana pendidikan (S.pd) masih belum bisa disebut sebagai
guru sebelum lulus dari PPG dan sertifikasi guru. Sehingga seluruh guru dengan
gelar S.pd diwajibkan mengenyam kembali bangku kuliah melalui PPG sebelum menjadi
guru.
Rencana pemerintah memberi
gelar Gr untuk guru menimbulkan pertanyaan di kalangan guru. Ketua Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) Surakarta Sugiaryo khawatir pendidikan profesi
guru (PPG) untuk mendapatkan gelar Gr akan tumpang-tindih dengan proses pembelajaran
di universitas.
Sebab, dalam kurikulum sarjana pendidikan, sudah tercakup materi tentang profesionalitas guru. “Misalnya ada mata kuliah metodologi pembelajaran atau kependidikan,” katanya kepadaTempo, Senin, 10 Februari 2014.
Lalu ada kewajiban bagi calon sarjana pendidikan untuk menempuh praktek mengajar selama tiga bulan di sekolah mitra. “Lulusan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP) pun dapat dua sertifikat. Yaitu sarjana pendidikan dan akta IV untuk bekal mengajar,” ucapnya.
Sugiaryo mengatakan akta IV melekat dalam kurikulum calon guru di FKIP. Jika pemerintah memaksakan ada PPG, seharusnya materi kompetensi dipisahkan dari kurikulum di FKIP. “Pemerintah jangan tergesa-gesa menerapkan guru sebagai profesi. Harus ada uji kurikulum, uji kompetensi, dan sebagainya,” katanya.
Dia meminta pemerintah melakukan kajian mendalam ihwal pentingnya gelar Gr bagi guru dan proses mendapatkannya.Sebab, struktur kurikulum saat ini sudah mencakup profesionalitas guru. ”Jangan disamakan dengan dokter atau akuntan. Mereka memang harus melalui pendidikan profesi agar menyandang gelar dokter atau akuntan dan bisa praktek,” ucapnya.
Pengamat pendidikan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Furqon Hidayatullah mendukung pemberian gelar Gr untuk guru. Dia menilai gelar Gr dan proses mendapatkannya sebagai bentuk penguatan terhadap profesi guru. ”Harapannya guru lebih siap menghadapi tantangan,” ujarnya. Dilansir oleh tempo.co.
Dilansir dalam
koranpendidikan.com: Mendikbud M. Nuh menyatakan, peluang menjadi PNS guru
tidak hanya dimiliki sarjana lulusan FKIP atau LPTK. Semua sarjana dari bidang
ilmu lain juga memiliki kesempatan yang sama, setelah mengikuti PPG dan
mengantongi sertifikat pendidik. Akan tetapi, pakar manajemen pendidikan
Universitas Negeri Malang (UM) Dr Waras Kamdi MPd, memandang PPG tidak lah
sesederhana itu. Apalagi, dianalogikan secara ala kadarnya dengan profesi
dokter, pengacara, atau pun akuntan.
“Ini (analogi) adalah bentuk simplifikasi (penyederhanaan, red) yang kurang tepat. PPG, mestinya bukan asal. Peserta PPG harus memiliki latar belakang pendidikan linier atau relevan dengan ilmu keguruan sebelumnya. Kemendikbud harusnya konsisten diawali dari hal ini,” tegas Waras.
Jika hal ini dipaksakan, tersirat Waras tampak pesimis PPG akan menghasilkan calon guru kompeten dan profesional nantinya. Lalu, seperti apa konsep dan disain PPG sehingga jaminan mutu outputnya bisa dipastikan? Menurut Waras, input dan model pendidikan dalam PPG tetap harus diperhatikan syarat dan karakternya secara khusus. Untuk calon peserta, tidak bisa siapa pun, termasuk mahasiswa atau sarjana non-kependidikan, bisa langsung mengikuti PPG.
“Untuk bisa mengikuti PPG, input peserta non-keguruan tetap harus mengalami perkuliahan teori-teori pembelajaran dan keguruan terlebih dahulu, melalui program dual degree atau sejenisnya. Konsep syarat ini yang selama ini belum diakomodir Kemendikbud,” sesal pria yang juga menjabat Dekan Fakultas Teknik UM ini.
Seberapa penting kah teori-teori akademik keguruan tersebut? Apalagi, ada anggapan sarjana non-keguruan memiliki penguasaan konsep yang lebih hebat dibanding lulusan kependidikan atau keguruan. Menurut Waras, teori-teori akademik kependidikan dan keguruan diyakini menjadi dasar filosofis yang membentuk epistemologi dan pola pikir guru terkait profesi pedagogik dan profesionalnya. Dasar-dasar kependidikan ini pula yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan seorang guru dalam pengelolaan kelas dan aktivitas belajar-pembelajaran.
“(Teori-teori kependidikan) sangat penting. Justru, jangan dianggap sepele dan diabaikan,” tambah Waras.
Jika lama studi PPG tak lebih dari satu atau dua tahun, bukan kah akan sama saja dengan program Akta Mengajar IV yang selama ini ada? Toh, bagi mahasiswa kependidikan, materi keguruan juga sudah diperolehnya setidaknya sebanyak 40 SKS.
Soal ini, Waras memastikan PPG akan jauh berbeda. Model perkuliahan PPG akan dirancang dengan disain interrenship. Artinya, tidak lagi banyak teori akademik pendidikan dan keguruan. Sebaliknya, mahasiswa akan banyak mengaplikasikan ilmu keguruan dengan praktik magang langsung di dunia pendidikan. Di sekolah-sekolah yang ditunjuk, akan ada guru-guru pamong yang akan membimbing peserta PPG. min-KP
“Ini (analogi) adalah bentuk simplifikasi (penyederhanaan, red) yang kurang tepat. PPG, mestinya bukan asal. Peserta PPG harus memiliki latar belakang pendidikan linier atau relevan dengan ilmu keguruan sebelumnya. Kemendikbud harusnya konsisten diawali dari hal ini,” tegas Waras.
Jika hal ini dipaksakan, tersirat Waras tampak pesimis PPG akan menghasilkan calon guru kompeten dan profesional nantinya. Lalu, seperti apa konsep dan disain PPG sehingga jaminan mutu outputnya bisa dipastikan? Menurut Waras, input dan model pendidikan dalam PPG tetap harus diperhatikan syarat dan karakternya secara khusus. Untuk calon peserta, tidak bisa siapa pun, termasuk mahasiswa atau sarjana non-kependidikan, bisa langsung mengikuti PPG.
“Untuk bisa mengikuti PPG, input peserta non-keguruan tetap harus mengalami perkuliahan teori-teori pembelajaran dan keguruan terlebih dahulu, melalui program dual degree atau sejenisnya. Konsep syarat ini yang selama ini belum diakomodir Kemendikbud,” sesal pria yang juga menjabat Dekan Fakultas Teknik UM ini.
Seberapa penting kah teori-teori akademik keguruan tersebut? Apalagi, ada anggapan sarjana non-keguruan memiliki penguasaan konsep yang lebih hebat dibanding lulusan kependidikan atau keguruan. Menurut Waras, teori-teori akademik kependidikan dan keguruan diyakini menjadi dasar filosofis yang membentuk epistemologi dan pola pikir guru terkait profesi pedagogik dan profesionalnya. Dasar-dasar kependidikan ini pula yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan seorang guru dalam pengelolaan kelas dan aktivitas belajar-pembelajaran.
“(Teori-teori kependidikan) sangat penting. Justru, jangan dianggap sepele dan diabaikan,” tambah Waras.
Jika lama studi PPG tak lebih dari satu atau dua tahun, bukan kah akan sama saja dengan program Akta Mengajar IV yang selama ini ada? Toh, bagi mahasiswa kependidikan, materi keguruan juga sudah diperolehnya setidaknya sebanyak 40 SKS.
Soal ini, Waras memastikan PPG akan jauh berbeda. Model perkuliahan PPG akan dirancang dengan disain interrenship. Artinya, tidak lagi banyak teori akademik pendidikan dan keguruan. Sebaliknya, mahasiswa akan banyak mengaplikasikan ilmu keguruan dengan praktik magang langsung di dunia pendidikan. Di sekolah-sekolah yang ditunjuk, akan ada guru-guru pamong yang akan membimbing peserta PPG. min-KP
0 comments:
Post a Comment