Sunday, 11 May 2014

Atasi Pedofilia di Dunia Pendidikan, Bagaimana?

Waspada Pedofilia di Dunia Pendidikan

Dilansir oleh TEMPO.CO : Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Arief Rachman, mengatakan banyaknya kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan sekolah merupakan dampak dari kurikulum pendidikan Indonesia. Menurutnya, materi pendidikan yang diajarkan di sekolah lebih ditekankan pada pendidikan otak, bukan watak siswa.
Jadi kekerasan seksual itu terjadi karena minimnya pendidikan watak,” ujar dia saat dihubungi, Sabtu, 10 Mei 2014. (Baca: Kasus Pencabulan, Ini Imbauan KPAI buat Orang Tua)
Arief mengatakan, kurikulum yang diterapkan di Indonesia selama ini selalu mengedepankan aspek meraih nilai tinggi. Dengan kurikulum itu, tiap siswa disebutnya dituntut untuk selalu memiliki nilai yang baik. Selain itu, mereka juga kerap dipacu untuk selalu hidup dalam lingkungan kompetisi agar selalu menjadi peraih nilai yang terbaik ketimbang temannya.
Namun, tuntutan itu tidak diimbangi dengan pendidikan watak dan perilaku mengenai cara untuk mendapatkannya. Tuntutan agar berprestasi tinggi membuat tekanan yang muncul di dalam diri siswa menjadi tinggi. Hal itu juga disebut Arief membuat siswa lebih rentan terhadap aksi kekerasan atau pelecehan seksual di sekolah.
»Akibatnya, terutama yang masih anak-anak, jadi mudah menerima iming-iming tertentu,” katanya.
Sebelumnya, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat sebanyak 342 kasus kekerasan pada anak terjadi di Jakarta dari Januari-April 2014. Sebanyak 52 persen atau sekitar 175 kasus merupakan kejahatan seksual. Sedangkan sepanjang 2013 tercatat ada 666 kasus kekerasan anak terjadi di Jakarta, dengan 68 persennya merupakan kekerasan seksual. (Baca: Begini Aksi Pencabulan Puluhan Pelajar Surabaya)
[DIMAS SIREGAR]
----------


REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar Kebijakan Publik UGM Agus Heruanto Hadna menilai cara efektif mencegah kekerasan dan pelecehan terhadap anakan adalah memberikan pendidikan seks bagi anak. Anak-anak perlu diajarkan bagaimana cara menghargai tubuhnya sendiri maupun respek terhadap orang lain.
Namun hal ini tampaknya masih sulit dilakukan. Apalagi, kata dia,  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Muhammad Nuh, menilai pendidikan seks masihlah tabu di Indonesia dan  lebih baik memprioritaskan pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama di dalam kurikulum pengajaran.
"Padahal pendidikan seks bagi anak dan pendidikan budi pekerti kan, dua hal yang berbeda. Memang ada kelompok-kelompok tertentu yang belum bisa memahami, bahkan cenderung resisten terhadap ini. Pendidikan seks diartikan dalam makna porno, tabu, konotasinya selalu negatif," paparnya.
Namun pemerintah idealnya tidak bisa begitu saja memutuskan bahwa pendidikan seks bagi anak tidak dibutuhkan. Persoalannya adalah bagaimana metode pendidikan seks yang tepat, yang sesuai dengan setiap perkembangan umur anak, serta dinilai tidak melanggar norma-norma masyarakat maupun agama. 
Karena itu tugas pemerintah dalam hal ini kan, harus mencari model atau metode yang cocok. Ada banyak lembaga, yayasan yang fokus terhadap anak dan perempuan, lalu tokoh agama serta tokoh masyarakat yang bisa diajak untuk duduk bersama mendiskusikan hal itu, saran Hadna.

0 comments:

Post a Comment